Thursday, April 10, 2008

Diskusi Komunitas menonton Tema Perempuan

Once were Warriors

Sejauh mana kekerasan secara filmis efektif dalam mendeskripsikan kekerasan terhadap perempuan itu sendiri? Kritik yang sering dilontarkan oleh para feminis adalah kekerasan filmis semakin mereproduksi kekerasan di luar film dan justru mengaburkan tujuan emasipatoris filmnya. Dalam cerita Once were warriors kekerasan dikatakan sudah ternadam sejak awal dalam relasi-relasi perbudakan antar etnis, kolonialisme, dan dominasi gender. Pada keluarga yang menjadi subjek film ini, ketiganya berkelindan: kekerasan yang dilakukan sang bapak pada ibu dan anak-anaknya antara lain juga disebabkan oleh faktor “balas dendam” karena kasta etnisnya yang lebih rendah dibanding istrinya. Tidak hanya itu, sang sebagai orang maori, mereka pun disingkirkan oleh struktur social yang diskriminatif. Dunia kerja sang bapak pun terasa sangat keras terhadap perempuan. Penggambaran rumah yang sangat klaustrofobik, menyiratkan berbagai macam kompleksitas relasi di atas mampat dalam relasi dan ruang yang lebih sempit lagi: keluarga. Ketika terjadi konflik, kekerasanlah yang menjadi kompensasi atas segala masalah seluruh anggota keluarga tersebut. Di sinilah penggambaran yang superlatif terhadap kekerasan menjadi efektif. Kekerasan macam itu pula yang barangkali ingin ditampakkan oleh sang sutradara untuk membuat penonton muak dan jera.

In the Time of Butterflies

In The Time of Butterflies meletakkan posisi perempuan dalam banyak dimensi: keluarga, relasi suami-istri, dan perjuangan politik. Yang terakhir menentukan dan membingkai kedua relasi pertama. Dalam cara pandang dan perilaku rezim Trujillo yang penting ialah kerja, negara dan keluarga. Terlihat dari cara Trujillo menyamakan dirinya dengan negara, juga kerasnya sanksi yang dijatuhkan pada orang yang pindah pekerjaan. Pada keluarga Mirabal ideologi negara diteguhkan dan bapak adalah sumber dan pemegang otoritas yang menentukan anak-anak perempuannya boleh bersekolah atau tidak. Di sisi lain, kezaliman rezim Trujillo telah juga menjadi rahasia umum di setiap keluarga. Saat Trujillo mengundang keluarga Mirabal dan merayu Minerva, sebuah kontradiksi muncul: wibawa dan otoritas maskulijn sang bapak untuk melindungi anak-anaknya, yang merupakan salah satu alat sekaligus produk ideologi dominan, runtuh seketika tatkala harus berhadapan dengan “maskulinitas rezim”. Perjuangan klandestin melawan Trujillo yang diperlihatkan di film ini dipelopori oleh sekelompok dosen dan mahasiswa. Masuknya Minerva sejak awal dalam perjuangan tersebut melalui beberapa ruang sosial dari keluarga, kampus, keluarga lagi, dan penjara. Di pihak lain, film ini mau mengatakan bahwa relasi-relasi dalam ruang-ruang sosial yang dahulu mereproduksi ideologi rezim, digunakan oleh Minerva dan kawan-kawan untuk melawan rezim. Laki-laki yang terlibat di pergerakan pun terlihat sangat “politically correct” dengan menganggap setara rekan perempuannya bahkan dalam hubungan romantis dan keluarga. Tiba-tiba saja tercipta kesadaran politis di dalamnya saat keluarga Minerva ikut menyembunyikan senjata para gerilyawan dan juga saat beberapa sipir perempuan kulit hitam—kasta yang ingin dienyahkan oleh Trujillo—serta banyak dari narapidana perempuan bersimpati dan ikut menyebarkan berita kekejaman rezim dan perkembangan gerakan di luar penjara.

Personal Velocity

Tiga karakter film ini merepresentasikan tiga aspek kekuatan perempuan: fisik, finansial, dan motherhood. Alih-alih menerima premis bahwa keluarga dan perkawinan adalah pelestari nilai-nilai patriarkis dengan figur laki-laki yang dominan, film ini memperlihatkan jika dominasi (laki-laki) tersebut sini tidak dapat dibaca semata-mata sebagai pola relasi terberi begitu saja sebagaimana pada perempuan, dominasi juga kembali dipertanyakan pada level mana dan bagian dari identitas perempuan apa yang ditundukkan. Ketiga cerita dalam film ini berangkat dari keluarga dimana hubungan dengan sang bapak diperlihatkan sangat menentukan perkembangan perempuan. Bapak yang bergaya hidup hippie berpengaruh pada cara anaknya melihat seks, kedekataan anak dengan bapak yang notabene pengaraca populer dan berpengaruh ikut pula menentukan cara pandang sang anak dalam memandang relasi romantis, dan bahkan absennya figur ayah pun kerap mempengaruhi cerita perempuan yang ketiga saat ia harus melakukan perjalanan panjang untuk mencari motherhood-nya. Sudut pandang laki-laki yang diambil Miller pun tidak selamanya hitam putih. Pada cerita yang pertama, memang terlalu klise jika poin yang diajukan adalah kekerasan dalam rumah tangga belaka—dan perempuan yang disiksa masih tetap setia dengan si penyiksa. Dominasi laki-laki di sini bermula dari menundukkan kekuatan fisik istrinya yang berupa daya tarik seksual. Pembebasaannya ditandai dengan si perempuan ketika mempecundangi anak majikannya yang mengajaknya berhubungan seks. Melampai itu, kehidupan berkeluarga yang telah memberinya anak menjadikan si perempuan di tidak pernah lepas dari spirit pengaturan diri sekaligus sense of reality yang membedakannya dengan beberapa kumpulan perempuan “progresif” di tempat penampungan sementara dan teman perempuan lamanya.
Sedangkan di cerita yang kedua, relasi keluarga yang dominatif dari pasangan justru hampir tidak ada. Yang terlihat kemudian adalah dari pengaruh kuat dari figur. ayah yang ambisius tadi dan muncullah isu kebebasan sumberdaya (finansial) perempuan. cerita di bab kedua mempertanyakan relasi antara laki-laki dan perempuan ketika ia dihadapkan pada masalah kepemilikan sumberdayanya: ketika suamai yang ditemuinya sangat penyayang dan setia, ia justru tidak bisa menahan godaan untuk berselingkuh. Cerita kedua kembali mempertanyakan apakah hubungangn macam itu yang diinginkan si perempuan, atau lebih nyaman lewat pintu belakang yang penuh petualangan? Di cerita ketiga dominasi figur laki-laki bahkan digambarkan dengan sangat halus. Hampir tidak ada konflik yang berarti antara pasangan dan keluaarga si perempuan, kecuali ajakan mereka untuk kembali ke rumah pasangannya. Perempuan yang tidak sengaja lari karena menyaksikan kecelakaan dari dekat itu menemukan motherhood-nya ketika berteman dengan anak laki-laki kecil yang ia temui di jalan.